Starbucks dan Segala Polemiknya



Starbucks Coffee merupakan salah satu perusahaan kopi dan gerai kopi terbesar di dunia yang didirikan di Seattle, Amerika Serikat pada tahun 1971. Perusahaan ini didirikan oleh tiga orang, yakni Gordon Bowker, Jerry Baldwin, dan Zev Siegl. Saat ini, Starbucks telah memiliki lebih dari 30.000 gerai yang tersebar di seluruh dunia. 

Fenomenalnya Starbucks di kalangan masyarakat tidak serta merta membuat perusahaan ini terhindar dari berbagai permasalahan yang menyangkut berbagai pihak. Permasalahan tersebut diantaranya adalah isu transfer pricing yang menyebabkan Starbucks membayar pajak lebih kecil dari yang seharusnya dibayarkan. Awal mula skandal pajak ini ketika pada tahun 2010 kantor berita Reuters mempublikasikan bukti investigasi yang intinya berisi tentang perbedaan pengakuan pajak yang dikemukakan petinggi Starbucks dengan otoritas pajak di Inggris. 

Semenjak 14 tahun mendirikan gerai kopi Starbucks di Inggris, mereka hanya membayar pajak sebesar 8,6 juta poundsterling, dimana jumlah ini sangat kecil jika dibanding dengan profit mereka dimana setiap tahunnya memperoleh 3 triliun poundsterling sejak tahun 1998. Yang artinya, Starbucks hanya membayar pajak sekitar 1% dari jumlah keuntungannya. Hal ini terjadi karena perusahaan yang berpusat di Amerika ini memberikan bantuan operasional kepada anak cabang di Inggris, kemudian perusahaan pusat akan menerapkan rate bunga yang tinggi atas pinjamannya. Tujuanya adalah, biaya yang dikeluarkan untuk membayar bunga atas pinjaman dapat menyerap keuntungan yang diperoleh perusahaan di Inggris, sehingga pajak yang dibayarkan kepada otoritas pajak di Inggris tidak terlalu besar. Kemudian, selain sistem transfer pricing, Starbucks juga menggunakan kerugian di masa lalu untuk menghindari pembayaran pajak yang tinggi. Yakni dengan cara melaporkan keuntungan di tahun ini untuk menutupi kerugian pajak di tahun sebelumnya, sehingga mereka dapat melaporka kerugian pajak di tahun sekarang. Hal ini tentu saja sangat merugikan Inggris jika pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.

Selain masalah pajak, Starbucks pada tahun 2018 juga terkena skandal yang berkaitan dengan rasialisme, dimana seorang karyawannya mengusir paksa dua orang berkulit hitam yang masuk ke dalam salah satu gerai Starbucks hanya untuk meminjam toilet. Karyawan tersebut memberitahu bahwa fasilitas Starbucks hanya diperuntukkan bagi konsumen Starbucks saja. Masyarakat yang tidak terima atas perlakuan karyawan Starbucks menganggap hal ini adalah bentuk rasialisme dan kemudian memboikot Starbucks. Akibat insiden ini, Starbucks menutup sementara lebih dari 8000 gerainya untuk memberikan pelatihan terkait bias rasial dan menghikangkan kesan diskriminasi terhadap para karyawannya agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Belakangan diketahui bahwa Starbucks memperbolehkan siapa saja yang ingin menggunakan fasilitas Starbucks, baik teras, tempat duduk, maupun toilet tanpa harus membeli produk mereka. 


Di tahun yang sama, seluruh gerai kopi di California, Amerika Serikat termasuk Starbucks mendapat peringatan keras dari pengadilan setempat bahwa mereka wajib memcantumkan label bahaya kanker pada setiap kemasan atau cangkir kopi yang mereka jual. Hal ini dikarenakan adanya undang-undang yang mewajibkan perusahaan untuk mencantumkan label bahaya bahan kimia yang digunakan yang dapat menyebabkan kanker. Bahan kimia yang berbahaya tersebut adalah Akrilamida, produk sampingan dari biji kopi panggang yang kadarnya tinggi dalam kopi seduh. Kewajiban pencantuman label bahaya kanker ini dapat menurunkan minat masyarakat terhadap kopi, sedangkan di sisi lain juga bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. Mengenai pencantuman  bahan kimia yang berbahaya, lebih dulu sudah dilakukan oleh perusahaan rokok, bahkan dengan jelas disebutkan bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai penyakit bahkan kematian. Tetapi, di Indonesia saja rokok menjadi produk yang sangat sulit lepas dari konsumsi sehari-hari. Bahkan, jenis rokok semakin beragam saja jenisnya, terlebih lagi rokok dengan merek lokal. Dapat disimpulkan bahwa meskipun sudah dicantumkan mengenai bahaya bahan kimia yang digunakan, keputusan pembelian tetap berada di tangan konsumen apakah keinginan mengonsumsi ataukah kesehatan yang harus diutamakan. 


Kasus lain yang terjadi pada Starbucks adalah adanya karyawan yang membobol Kartu Kredit pelanggan Starbucks. Kasus ini terjadi pada 2016 di Indonesia, disebutkan bahwa kerugian atas kejadian ini mencapai ratusan juta rupiah dengan transaksi dari setiap nasabah sebesar Rp 2-3 juta. Kemudian, adanya boikot dari masyarakat Indonesia terhadap Starbucks dimana CEO (Chief Executive Officer) Starbucks, Howard Mark Schultz yang mendukung dan mengkampanyekan secara terang-terangan kesetaraan kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) serta pernikahan sejenis. Hal ini membuat beberapa pihak di Indonesia mengusulkan untuk mengecam dan memboikot Starbucks karena menganggap ideologi dan pemahaman bisnis Starbucks tidak sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia. 

Boikot yang dilakukan pihak-pihak tersebut sah saja dilakukan jika memang etika bisnis tidak sejalan dengan etika bangsa dan tidak menghormati nilai, budaya dan adat yang berlaku di sekitarnya. Seperti halnya LGBT yang memang bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. 

0 comments:

Posting Komentar

Recent

Comment